Berita Hukum

MPKN Segera Bawa Dugaan Pungli SMPN 3 Ke APH

IMG 20240812 WA0000

BLORA, Mantranews.id – Kasus penjualan seragam bagi siswa baru dan dugaan pungli kegiatan karnaval di SMPN 3 Cepu terus berlanjut. Masyarakat Pemantau Keuangan Negara (MPKN) merasa geram atas jawaban yang dilontarkan oleh kepala sekolah beserta komite SMPN 3 Cepu. Mereka mengelak telah melanggar aturan.

Sukisman Ketua MPKN Blora, berencana membawa kasus tersebut ke Aparat Penegak Hukum (APH).

“Kita buktikan saja, pihak sekolah melanggar atau tidak,” ucapnya, Senin (12/8).

Menurutnya, kepala sekolah beserta komite telah membuat kemufakatan melanggar aturan. Jika dibiarkan akan berdampak kepada sekolah-sekolah yang lain. “Kalau salah wajib diingatkan. Jika tidak mau diingatkan, ya kita laporkan,” tandasnya.

Sukisman menambahkan, jika pernyataan kepala sekolah dan komite blunder. 

“Statemen kepala sekolah blunder, karena ada aturan Permendikbud yang sudah jelas dilanggar.  Apa kalau sudah seijin  komitebiti dibolehkan. Komite saja juga tidak kok memberi ijin. Peraturan dibuat untuk ditaati bukan disiati,” pungkasnya.

Diberitakan sebelumnya, pasca viralnya pemberitaan atas penjualan seragam oleh sekolah dan dugaan pungutan liar (pungli) untuk kegiatan karnaval di SMPN 3 Cepu, Blora, akhirnya pihak sekolah buka suara.

Kepala SMPN 3 Cepu, Suyitno yang berhasil dikonfirmasi mengatakan, jika pengadaan seragam yang ditangani pihak koperasi sekolah sudah seijin dan sepengetahuan komite sekolah. 

“Komite sudah mengijinkan atas pengadaan seragam dengan pertimbangan agar bisa kompak warnanya tidak beda-beda,” ujarnya, Minggu (11/8).

Suyitno menjelaskan, uang sebesar Rp 800 ribu untuk standar, dan Rp 850 ribu untuk ukuran jumbo itu, siswa mendapatkan 1 stel seragam OSIS, 1 stel kotak-kotak putih, 1 stel Pramuka, satu stel seragam olahraga serta atribut berupa logo, kaos kaki, dan ikat pinggang.

“Dan ini sifatnya tidak memaksa, kami juga bagikan seragam gratis bagi beberapa siswa yang kurang mampu,” terangnya.

Saat disinggung soal iuran karnaval yang dibebankan siswa, Suyitno mengungkapkan, jika sumbangan tersebut juga sudah seijin komite dan telah disosialisasikan ke wali murid. Dirinya tidak menampik jika kebutuhan karnaval mencapai Rp 100 juta rupiah.

“Drumband sekolah sudah banyak yang rusak, meski tidak semua. Setelah dihitung untuk pengadaan mengganti alat drumband yang rusak, sekolah butuh dana sekitar Rp 65 juta. Sedangkan kebutuhan karnaval mencapai Rp 35 juta,” ungkapnya.

Ia menegaskan, bahwa kegiatan karnaval ini memang membutuhkan biaya yang tidak sedikit. “Dan kami pastikan bukan hanya sekolah kami, rata-rata pasti juga ada sumbangan dari wali murid,” tegasnya.

Jika harus mengembalikan ke wali murid pihaknya juga bersedia tetapi sekolahnya juga tidak akan mengikuti kegiatan karnaval.

Sementara itu, ketua komite SMPN 3 Cepu, Suyoko menegaskan bahwa, apapun langkah yang telah diambil oleh pihak sekolah telah berkoordinasi dengan komite. 

“Saya menjadi komite sudah sejak 2016 lalu. Sepanjang itu untuk kemajuan sekolah, kami akan mendukung sepenuhnya,” ucapnya.

Terkait dugaan pelanggaran aturan terkait penjualan seragam oleh sekolah dan dugaan atas pungli untuk kegiatan karnaval , pihaknya menilai bahwa Permendikbud Nomor 75 tahun 2016 itu tidak melanggar.

“Kami merasa tidak melanggar, kalau ada yang beda asumsi ya silahkan,” katanya.

Menurutnya, menanamkan rasa nasionalisme terhadap siswa merupakan kewajiban siapa saja. “Kalau karnaval dipersoalkan yang niatnya untuk menanamkan jiwa nasionalisme, ya tunggu saja kalau nanti anak-anak tidak akan memiliki cinta tanah air,” tandasnya.

Diberitakan sebelumnya, dunia pendidikan Kabupaten Blora kembali dihebohkan dengan kebijakan nekat yang diduga dilakukan oleh SMPN 3 Cepu.

Pasalnya sekolah berplat merah itu nekat menjual seragam kepada siswa baru di koperasi sekolah dengan nominal Rp 800-850 ribu untuk setiap anak. Padahal larangan penjualan seragam disekolah telah lama dilarang.

Bukan hanya itu, untuk kegiatan karnaval, sekolah juga diduga melakukan pungutan kepada wali murid. Dengan biaya karnaval mencapai ratusan juta itu dibebankan kepada wali murid.

Ketua Masyarakat Pemantau Keuangan Negara (MPKN) Blora Sukisman, tengah menyoroti serius akan dugaan pungli dan penjualan seragam di sekolah tersebut.

Ia menegaskan, bahwa dirinya telah mendapatkan fakta dilapangan terkait hal itu. “Saya mendapatkan laporan, jika pembelian seragam untuk siswa baru mencapai 800-850 ribu, ini kan fatal. Kami ingatkan kepada sekolah, jangan coba-coba langgar aturan yang sudah ada. ,” ujarnya, Jumat (9/8).

Kisman menduga sekolah telah melanggar Permendikbud nomor 75 tahun 2016, disebutkan bahwa komite sekolah, baik perorangan maupun kolektif, dilarang menjual buku pelajaran, bahan ajar, perlengkapan bahan ajar, pakaian seragam, atau bahan pakaian seragam di sekolah.

“Selanjutnya dengan tegas di atur dalam Permendikbud nomor 45 tahun 2014 disebutkan, sekolah dan komite dilarang menjual seragam, termasuk tidak boleh dijual di sekolahan adalah seragam batik untuk identitas sekolah dan pakaian olahraga,” jelasnya.

Menurutnya, pembelian seragam dapat dilakukan di pasar atau toko bukan disekolahan. Pembelian juga dapat dilakukan secara kolektif tetapi tidak melibatkan sekolahan dan terakhir penjualan baju seragam atau kain yang dilakukan sekolahan dianggap sebagai pungutan. “Ini sudah termasuk pungutan ya, hati-hati,” tegasnya.

Selain itu, lanjut Kisman, pungutan atau iuran yang diambil dari wali murid untuk kegiatan karnaval yang dilakukan SMPN 3 Cepu, nilainya cukup fantastis, sekira Rp 100,8 juta

“Dalam Pasal 181 huruf d PP No. 17 Tahun 2010 menyebutkan, pendidik dan tenaga kependidikan, baik perorangan maupun kolektif, dilarang melakukan pungutan kepada peserta didik baik secara langsung maupun tidak langsung yang bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan,” jelasnya.

Sukisman menilai, pelanggaran Permendikbud RI No. 44 Tahun 2012 tentang Pungutan dan Sumbangan Biaya Pendidikan. Dalam Pasal 9 ayat (1) Permendikbud no 44 tahun 2012 tersebut menyebutkan satuan pendidikan dasar yang diselenggarakan oleh pemerintah, dan/atau pemerintah daerah dilarang memungut biaya satuan pendidikan.

“Tentunya sekolah akan mendapatkan sanksi baik pidana maupun sanksi administratif. Kalau benar akan kami laporkan ke Satuan Tugas Sapu Bersih Pungutan Liar (Satgas Saber Pungli),” tukasnya.

Sementara itu, salah seorang wali murid kelas VII SMPN 3 Cepu, yang bernama Hani, saat ditanya soal penjualan seragam, ia mengaku, jika dirinya bersama wali murid lain memang membeli di sekolah.

“Iya beli dikoperasi sekolah. Kalau ukuran standart Rp 800 ribu, kalau jumbo Rp 850 ribu,” jelasnya.

Ketika disinggung soal iuran karnaval, Hani mengatakan , jika masing-masing kelas iuran berbeda-beda. “Ada 150 ribu, 190 ribu juga ada yang 200 ribu, tidak sama. Yang tidak ikut karnaval juga iuran kayaknya,” pungkasnya. (Hanafi-Mantranews)