SEMARANG, Mantranews.id – Wahyune Maliyani, anak pemilik tanah dan bangunan atas nama Munsaidi Eko Rahardjo di Kampung Demes dan Kampung Baris, Kelurahan Karangturi, Kecamatan Semarang Timur, mengaku cemas dan tertekan akibat intimidasi yang diterimanya. Rumahnya kini tak lagi terasa aman, dan teleponnya terus berdering, semuanya karena ancaman dari seseorang yang mengaku sebagai ahli waris Tasripin, seorang tuan tanah yang dikabarkan memiliki sejumlah bidang tanah di kawasan tersebut.
Sejak tahun 2022, sosok tersebut menuntut Wahyune menebus lahan yang diklaim sebagai warisan keluarga mereka. Tak hanya lewat telepon, tekanan juga datang dalam bentuk kunjungan langsung ke rumahnya. Orang itu menuntut Wahyune untuk membayar atau menebus tanah yang sudah dimilikinya bertahun-tahun, dengan rincian biaya tinggi yang harus segera dilunasi agar Wahyune dapat mempertahankan hak atas tanah dan bangunannya.
Masalah bermula ketika Wahyune mendapati kejanggalan pada sertifikat tanahnya di Kampung Demes. Sekitar tahun 2018, saat balik nama dari orang tuanya ke dirinya, luas tanahnya yang awalnya 71 meter persegi tiba-tiba berkurang menjadi 49 meter persegi, sehingga kehilangan 22 meter persegi. Wahyune sempat mempertanyakan hal ini kepada Badan Pertanahan Nasional (BPN), yang menyatakan bahwa lahan 22 meter persegi tersebut tercatat sebagai milik pihak lain.
Kemudian, pada tahun 2022, seorang pria yang mengaku sebagai ahli waris tuan tanah menuntut pembayaran tanah tersebut senilai Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) sebesar Rp 3.100.000 per meter. Selain itu, tanah Wahyune di Kampung Baris yang seluas 67 meter persegi juga diminta ditebus dengan harga Rp 3.375.000 per meter.
Ditemani kuasa hukumnya dari LBH Mega Cakra Keadilan, yakni Dr. Soesanto Gunawan, SH, MH, MM, dan Soeryono Roestam, SH, Wahyune menilai tuntutan tersebut sangat memberatkannya.
“Tahun 2022 mereka sudah memberikan rincian tebusan dan meminta saya membayar sesuai NJOP,” kata Wahyune saat ditemui di Jalan Peres, Semarang Utara, Jumat (1/11/2024).
Kini, di tahun 2024, ancaman tersebut makin intensif. Selain didatangi langsung, sosok tersebut juga melibatkan pihak lain yang mengaku sebagai ahli waris tanah, dengan rincian biaya tebusan yang terus diperbarui.
Wahyune berharap ada titik terang atas kasus ini. Dengan bantuan kuasa hukum, ia berharap haknya sebagai pemilik sah diakui dan teror yang mengancam kesejahteraan keluarganya segera berakhir.
Dr. Soesanto Gunawan, SH, MH, MM, menyebut bahwa kliennya merasa tertekan dan keberatan atas permintaan tebusan yang dinilai terlalu tinggi.
“Mereka merasa tanahnya itu milik tuan tanah, sedangkan gedungnya milik klien kami,” ujarnya.
Saat ini, pihak Wahyune masih berupaya melakukan negosiasi agar harga tebusan dapat turun di bawah NJOP dan belum merencanakan langkah hukum. Soeryono Roestam, kuasa hukum lainnya, menambahkan bahwa warga lain di wilayah tersebut juga pernah mengalami ancaman serupa.
“Kami berencana untuk bermediasi dan berharap pemerintah dapat ikut turun tangan. Beberapa warga sudah memiliki sertifikat namun masih diusik pihak yang mengaku ahli waris,” jelas Soeryono. (Riz/Bas-Mantranews).