ARTIKEL, Mantranews.id – Pada Senin, (24/2), Presiden Prabowo Subianto meresmikan Danantara, sebuah lembaga super holding yang diharapkan menjadi tonggak transformasi ekonomi Indonesia.
Peluncuran lembaga ini mencuri perhatian publik, yang kini mulai mempertanyakan urgensinya dalam mempercepat pertumbuhan ekonomi negara.
Pemerintah Prabowo sendiri menyebut Danantara sebagai langkah konkret dalam mencapai sasaran ambisius—pertumbuhan ekonomi 8 persen dan mengakhiri kemiskinan ekstrem hingga nol persen.
Dalam kajian terbaru yang dirilis oleh Kantor Komunikasi Kepresidenan (PCO), Danantara dianggap sebagai solusi atas ketergantungan Indonesia pada investasi asing untuk hilirisasi.
Sebelumnya, sektor hilirisasi di Indonesia banyak bergantung pada investasi luar negeri, tetapi dengan hadirnya Danantara, harapannya hal itu bisa diubah.
Menurut data dari Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) yang dilansir CEIC, sektor hilirisasi memang menjadi pendorong utama bagi peningkatan investasi asing.
Danantara dinilai membawa kesempatan baru dengan ambisi besar di balik namanya, Daya Anagata Nusantara. Lembaga ini tak hanya ingin mengelola investasi dan aset negara dengan lebih efektif, tetapi juga ingin menjadi katalis utama bagi transformasi ekonomi Indonesia—mengurangi ketergantungan pada utang dan membuat kekayaan nasional bekerja lebih cerdas.

Namun, meski ambisi ini terlihat gemilang, publik tidak lepas dari keraguan. Masyarakat bertanya-tanya: Benarkah Danantara ini solusi yang diharapkan? Ataukah ia sekadar pembungkus baru dari model lama yang telah terbukti gagal?
Selama ini, Indonesia terlalu lama bergantung pada ekspor bahan mentah sebagai pilar utama ekonomi. Ketika harga komoditas global turun, neraca transaksi berjalan pun ikut ambruk.
Data dari BPS dan Bank Indonesia mengungkapkan, pada 2013, defisit transaksi berjalan mencapai -3,2 persen dari PDB, jauh lebih buruk dibandingkan India yang hanya -1,7 persen, dan hampir setara dengan Brasil di -3,6 persen.
Ketergantungan pada ekspor bahan mentah telah menciptakan kerentanannya tersendiri. Pemerintah kini berusaha membalikkan keadaan dengan mendorong hilirisasi.
Danantara hadir di tengah upaya ini, dengan konsep yang sederhana: jangan hanya mengekspor bijih nikel, tapi olah menjadi baterai litium dan kendaraan listrik.
Jangan hanya menjual bauksit mentah, tapi kembangkan hingga jadi panel surya dan komponen otomotif. Di sinilah posisi Danantara menjadi sangat strategis, sebagai lembaga yang bertugas mengelola aset dan investasi negara, sehingga hilirisasi tidak lagi bergantung pada modal asing.
Namun, ada alasan kuat mengapa publik masih skeptis. Salah satunya adalah soal pengawasan. Siapa yang akan memastikan Danantara tidak terjerumus ke dalam pusaran korupsi?
Kasus 1Malaysia Development Berhad (1MDB) di Malaysia menjadi pelajaran berharga bagi Indonesia. Awalnya dimaksudkan untuk mendorong pembangunan, 1MDB justru berubah menjadi skandal keuangan terbesar yang menggerus kepercayaan publik dan mengguncang ekonomi Malaysia. Indonesia, dengan sejarahnya yang tak kalah berliku, harus belajar dari kegagalan tersebut.
Selain itu, struktur kepengurusan Danantara juga menjadi sorotan. Beberapa nama yang dikaitkan dengan lembaga ini menimbulkan pertanyaan tentang kredibilitas dan integritas.
Bahkan, Presiden Prabowo sendiri menyatakan bahwa mantan presiden dan pemimpin ormas keagamaan akan terlibat dalam pengawasan Danantara. Jika benar demikian, kekhawatiran tentang netralitas dan independensi lembaga ini akan semakin besar.
Budi Frensidy, Guru Besar Universitas Indonesia dan pengamat pasar modal, memberi saran agar pengelolaan Danantara diserahkan sepenuhnya kepada para profesional yang berintegritas dan berkomitmen tinggi.
Mereka harus bebas dari afiliasi politik atau kelompok tertentu. Menurutnya, pengelolaan yang transparan dan profesional adalah kunci keberhasilan Danantara, dengan para pengurus yang memiliki rekam jejak bersih dan tidak terjerat konflik kepentingan.
Keberhasilan lembaga ini akan sangat bergantung pada siapa yang ditugaskan untuk menjalankannya. Penempatan individu dengan rekam jejak buruk dalam pengelolaan keuangan negara hanya akan merusak kepercayaan publik dan meruntuhkan harapan sejak awal.
Untuk itu, pemerintah sebaiknya menggandeng profesional dari sektor swasta yang memiliki pengalaman dalam mengelola dana investasi besar, baik domestik maupun internasional.
Tanpa transparansi dan pengawasan yang ketat, Danantara berisiko menjadi alat monopoli atau rent-seeking yang hanya akan merugikan BUMN dalam jangka pendek dan panjang. Keberhasilan Danantara bukan hanya tentang ambisi besar yang dibawa oleh lembaga ini, tetapi tentang bagaimana ia dikelola secara hati-hati dan profesional demi kepentingan nasional. (Sat/Mantranews.id)