Kudus, Mantranews.id – Bupati Kudus Sam’ani Intakoris berharap Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2024 tentang Kesehatan, khususnya pasal-pasal yang mengatur soal pertembakauan (Pasal 429–463) dapat dikaji ulang dengan melibatkan semua pihak yang terdampak.
“PP ini tentu perlu dibicarakan bersama antara pemerintah, pekerja, industri, dan semua pihak terkait. Harapannya nanti ada keputusan yang mengarah pada kemakmuran bersama,” ucap Bupati Kudus Sam’ani Intakoris saat menghadiri Hari Ulang Tahun ke-32 Federasi Serikat Pekerja Rokok Tembakau Makanan Minuman Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (FSP RTMM-SPSI) di Lapangan Desa Rendeng, Kabupaten Kudus, Jawa Tengah, Kamis (29/5/2025).
Sam’ani juga menyoroti keputusan Pemerintah Pusat yang membatalkan rencana penerapan kemasan polos (plain packaging) pada produk rokok, sebagai bagian dari turunan PP 28/2024.
Ia mengapresiasi langkah Kementerian Perindustrian dan Kementerian Kesehatan yang telah mencapai kesepakatan tersebut, karena dianggap menjaga keseimbangan antara kepentingan ekonomi dan kesehatan masyarakat.
“Kalau menurut saya, perlu ada kajian-kajian khusus. Di Kudus ini, sektor rokok seperti kretek dan rokok filter sangat menyerap tenaga kerja. Kalau bisa, kebijakan ini tetap menguntungkan para pekerja,” ujarnya.
Terkait dengan rencana moratorium kenaikan cukai, Sam’ani menyatakan dukungannya.
“Saya sangat mendukung itu. Yang harus naik adalah gaji para pekerja,” tegasnya.
Lebih lanjut, Sam’ani menyinggung Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBHCHT) yang diharapkan kembali menyentuh angka Rp1 triliun untuk digunakan sebesar-besarnya demi kesejahteraan tenaga kerja industri rokok.
“Kalau nanti kembali ke satu triliun, pekerja bisa menerima insentif selama 12 bulan penuh,” tuturnya.
Sementara itu, Ketua Umum FSP RTMM-SPSI Sudarto A.S mengaku mendukung upaya Pemerintah melakukan deregulasi terhadap pasal-pasal terkait dengan tembakau dalam PP Nomor 28 Tahun 2024 karena menyangkut nasib jutaan pekerja rokok.
“Jika sejalan dengan program pemerintah sendiri, kemudian dikaitkan dengan kebijakan padat karya atau industri padat karya, tentunya perlu dilakukan deregulasi,” ucap Sudarto.
Menurut dia, beberapa pasal di dalam PP 28/2024 memang wajar perlu disempurnakan. Bahkan jika memungkinkan dibatalkan, karena bisa menghambat terhadap proses kebijakan pemerintah sendiri terkait dengan penyelamatan industri padat karya.
Dalam PP 28/2024, kata dia, terdapat larangan penjualan rokok dalam radius 200 meter dari satuan pendidikan dan tempat bermain anak. Kemudian kemasan polos tanpa merek, termasuk promosi berjarak 500 meter, serta aturan penempatan etalasenya.
“Hal itu ‘kan suka tidak suka menghambat penjualan rokok di pasaran. Jika serapan pasarnya rendah, berimbas pada nasib buruh tidak bisa bekerja memproduksi rokok. Jadi, risikonya begitu besar terhadap tenaga kerja,” ujarnya.
Terkait dengan tindak lanjut dari hasil kesepakatan ketika melakukan unjuk rasa di Kantor Kementerian Kesehatan pada tanggal 20 Oktober 2024, menurut Sudarto, sampai saat ini belum ada tindak lanjut yang jelas.
“Seharusnya apa yang sudah menjadi kebijakan pemerintah pada saat ini benar-benar dibuktikan untuk industri padat karya, khususnya Industri Hasil Tembakau (IHT),” jelasnya.
Dalam memperjuangkan kelangsungan nasib buruh rokok, pihaknya tetap mengedepankan dialog dalam waktu dekat, sekaligus berharap DPR RI, khususnya Komisi IX, bisa menjambatani aspirasinya.
“Lihat saja, dalam aksi senam sehat di Kudus pada hari ini (29/5) terdapat ribuan pekerja yang memerlukan perhatian dari Pemerintah dan harus diselamatkan dari berbagai regulasi yang menurut kami mengancam kelangsungan kehidupan mereka, pekerjaan mereka, bahkan penghasilan mereka,” imbuhnya.
Ia juga berharap adanya moratorium kenaikan Cukai Hasil Tembakau (CHT) selama tiga tahun ke depan karena kondisi ekonomi global dan domestik yang tidak menentu, serta tingginya angka Pemutusan Hubungan Kerja (PHK).
Tantangan lainnya, yakni kehadiran Perda Kawasan Tanpa Rokok (KTR) yang terkadang ketika diterbitkan lebih eksesif daripada aturan di atasnya.
“Kami tidak menolak regulasi, tetapi regulasi harus memberi ruang kehidupan kepada buruh rokok. Mereka butuh kerja, mereka butuh penghasilan. Dan saat ini kami sedang sulit pekerjaan dan sulit orang yang mau membayar upah. Jangan tambah penderitaan mereka,” tegasnya. (Fahtur Rohman | Anta | Mantranews.id)