Berita

Dana Desa Tahap 2 Non Earmark Mandek Rp33 Miliar, 113 Desa di Blora Terdampak

Dana Desa Tahap 2 Non Earmark

BLORA, Mantranews.id– Dinas Pemberdayaan Masyarakat dan Desa (DPMD) Kabupaten Blora mencatat terdapat 113 desa yang terdampak terbitnya Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 81 Tahun 2025. Dampaknya, dana desa tahap 2 non earmark tidak dapat dicairkan, dengan total anggaran yang tersendat mencapai sekitar Rp33 miliar.

Kepala Bidang Penataan Pengembangan dan Pengelolaan Keuangan Desa DPMD Blora, Suwiji, menjelaskan bahwa 113 desa tersebut kehilangan kesempatan menjalankan program prioritas pembangunan fisik di wilayah masing-masing.

“Yang sudah cair sebanyak 158 desa. Lalu ada 3 kecamatan yang desa-desa di sana sudah clear earmark dan non earmark-nya. Yaitu Kecamatan Todanan, Kradenan, dan Jiken,” ujar Suwiji, Rabu (03/12/2025).

“Kalau di Kunduran menyisakan 1 desa, 24 desa lainnya sudah clear,” lanjutnya.

Suwiji menambahkan, 158 desa yang berhasil mencairkan dana desa tahap 2 non earmark adalah desa yang mengajukan permohonan sebelum 17 September 2025.

“Kalau merujuk PMK Nomor 81 Tahun 2025, di situ di Pasal 9B disebutkan, pengajuan setelah tanggal 17 September tidak cair, kurang lebih seperti itu,” terangnya.

Ia menyebutkan, setiap desa memiliki besaran anggaran bervariasi untuk pencairan tahap 2 non earmark, yakni antara Rp200 juta hingga Rp300 juta.

“Akumulasi total anggaran dana desa tahap 2 non earmark sekitar Rp33,196 miliar,” ungkapnya.

Tahapan Pencairan Dana Desa Tahap 2 Non Earmark

Lebih lanjut, Suwiji menjelaskan mekanisme pencairan dana desa tahap 2 non earmark dimulai dari pengajuan permohonan oleh desa kepada DPMD. Selanjutnya DPMD melakukan verifikasi dan validasi hingga seluruh persyaratan dinyatakan lengkap.

“Artinya berkas dan juga angkanya benar, kemudian kami proses, kami ajukan melalui aplikasi OMSPAN,” terangnya.

Menurutnya, dampak PMK 81 Tahun 2025 sangat besar bagi pembangunan infrastruktur desa, mengingat anggaran non earmark merupakan porsi dana yang diperuntukkan bagi pembangunan fisik.

“Saya kira efeknya sangat besar, karena memang non earmark ini kan kegiatan-kegiatan prioritas yang ditetapkan oleh desa melalui Musdes. Kalau earmark kan kegiatan yang telah ditentukan oleh pemerintah pusat. Kegiatan fisik masuknya di kategori non earmark,” jelasnya.

Suwiji menegaskan bahwa DPMD hanya dapat menjalankan amanat peraturan yang sudah ditetapkan pemerintah pusat.

“Karena ini sudah ditetapkan melalui PMK, kami juga hanya melaksanakan aturan dari pusat seperti apa. Kami hanya menyampaikan ke desa,” tuturnya.

Terkait desa yang sudah terlanjur membangun fisik menggunakan dana talangan pribadi kepala desa, Suwiji mengaku tidak dapat berbuat banyak.

Pasalnya, secara prinsip pengelolaan keuangan desa, pekerjaan seharusnya dimulai setelah anggaran tersedia.

“Di desa itu anggaran masuk di RKD baru dikerjakan. Kita juga tidak tahu ternyata kemudian ketika sudah ditalangi, kok tidak cair. Memang ini menjadi permasalahan,” katanya. (Redaksi – Mantranews.id)