DEMAK, Mantranews.id – Puspita Bahari Demak bersama berbagai komunitas menggelar perayaan dan rembuk pesisir bertema “Parade 16 Perahu Perempuan Nelayan: Melawan Eksploitasi Pesisir yang Merusak Kehidupan” pada Minggu (30/11/2025).
Kegiatan tersebut menjadi bagian dari kampanye Global 16 Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan, peringatan Hari Hak Asasi Manusia, serta rangkaian aksi global World Forum of Fisher Peoples (WFFP) dan World March of Women (WMW).
Acara ini digelar untuk memperkuat solidaritas perempuan nelayan serta masyarakat pesisir yang dinilai semakin terpinggirkan akibat eksploitasi pesisir dan dampak krisis iklim.
Ketua Puspita Bahari, Masnu’ah, menilai pemerintah masih menjadi aktor utama perusakan pesisir melalui berbagai proyek alih fungsi lahan, reklamasi, tambang pasir laut, hingga investasi pariwisata yang masif. Dampak kondisi tersebut, kata dia, membuat nelayan dan perempuan nelayan melaut lebih jauh, menanggung biaya operasional tinggi, dan tetap kembali dengan hasil tangkapan yang semakin sedikit.
“Ketika para pemimpin dunia berbicara tentang masa depan bumi, perempuan nelayan di Indonesia justru harus menghadapi cuaca ekstrem, banjir rob yang semakin sering, panas yang menyengat, dan angin kencang yang membahayakan keselamatan mereka di laut,” ujar Masnu’ah.
Ia menyampaikan bahwa perempuan nelayan di pesisir Demak menghadapi dampak berlapis dari kerusakan ekologis dan pembangunan ekstraktif, mulai desa-desa yang perlahan tenggelam hingga rumah dan mata pencaharian yang hilang.
“Situasi ini semakin memperburuk kerentanan perempuan yang harus menghadapi keterbatasan akses terhadap layanan kesehatan dan air bersih, meningkatnya kekerasan dalam rumah tangga dan perkawinan anak, serta tekanan ekonomi yang berat,” ungkapnya.
Parade 16 Perahu Perempuan Nelayan Jadi Ruang Konsolidasi Gerakan Perempuan Pesisir
Menurut Masnu’ah, kerusakan pesisir dan hilangnya penghidupan merupakan bentuk pelanggaran hak asasi manusia terhadap perempuan.
“Harapan kami sederhana yaitu tidak ingin menjadi korban yang tenggelam dalam krisis iklim. Untuk itu, kami mendesak negara menghentikan proyek-proyek ekstraktif dan eksploitatif di pesisir yang mengancam keberlangsungan hidup perempuan nelayan dan generasi masa depan,” tegasnya.
Ia menambahkan, Parade 16 Perahu Perempuan Nelayan menjadi ruang kampanye dan konsolidasi gerakan perempuan pesisir. Melalui kegiatan tersebut, ia berharap ada peningkatan kesadaran publik mengenai dampak pembangunan ekstraktif dan krisis iklim terhadap perempuan nelayan, serta penguatan gerakan perempuan Demak dalam advokasi HAM dan pencegahan kekerasan berbasis gender di wilayah pesisir.
“Parade ini sekaligus menjadi pengingat bagi negara mengenai tanggung jawab pemulihan desa-desa pesisir yang terdampak kerusakan lingkungan dan pembangunan yang tidak berkelanjutan,” jelasnya.
Sementara itu, warga Dukuh Timbulsloko, Lasmiyah, mengungkapkan kondisi kampungnya yang terus tenggelam akibat banjir rob dari tahun ke tahun.
“Sawah hilang, akses rusak, dan setiap tahun kami harus meninggikan rumah. Reklamasi dan jalan tol membuat keadaan makin buruk,” ujarnya.
Warga berharap pemerintah memberikan perhatian serta tindakan nyata untuk memulihkan ruang hidup dan penghidupan yang hilang, serta memastikan pemulihan yang adil bagi perempuan nelayan dan generasi mendatang. (Redaksi – Mantranews.id)
