Berita Politik

Dugaan Cawe – Cawe Jokowi Pada Pilkada Nanti, Begini Tanggapan Pengamat USM

IMG 20240804 WA0105

KENDAL, Mantranews.id– Diduga cawe-cawe pada Pemilu 2024 lalu, kini Presiden Jokowi diduga akan kembali cawe-cawe pada Pilkada 2024 mendatang, Minggu (4/8).

Sebelumnya dugaan Presiden cawe-cawe pada Pilpres 2024 muncul saat pihaknya diduga terlibat campur tangan pada putusan MK pada Syarat Batas Usia Capres- Cawapres. Kemudian dugaan tersebut diperkuat usai Presiden Jokowi menuai pro kontra dengan menyatakan bahwa Presiden boleh memihak dan kampanye, walaupun ia juga menegaskan bahwa selama berkampanye tidak boleh menggunakan fasilitas Negara.

Polemik terus berlanjut usai Presiden Jokowi dituduh adanya abuse of power dalam APBN  untuk memberikan Bansos yang bertujuan untuk mempengaruhi Pemilu. Selain itu, ia juga dituduh telah menyalahgunakan kekuasaan yang dilakukan Pemerintah Pusat, Pemda dan Pemerintah Desa untuk memenangkan salah satu calon. Walaupun pada akhirya polemik tersebut dibawa ke MK dan berakhir dengan ditolaknya semua gugatan sengketa Pilpres 2024, pada Senin 22 April 2024.

Namun isu yang berkembang hari ini, dugaan cawe-cawe Presiden Jokowi terutama pada Pilkada 2024 masih terus menggema. Oleh karena itu, pengamat politik dari Universitas Semarang, Muhammad Junaidi, menanggpi hal tersebut. Menurutnya spekulasi atau munculnya dugaan seperti demikian tentu semua orang dapat menyatakannya, namun hal tersebut harus dibuktikan secara hukum.

“Jadi dalam konteks ini memang saya melihat bahwa nantinya, kalau ada dugaan bahwa pemerintah, presiden jokowi dianggap melakukan intervensi seperti itu, nah spekulasi seperti itu saya pikir siapapun boleh ngomong. Tapi apa yang disampaikan, semuanya harus dibuktikan. Tentunya dibuktikan, dan itu yang dilakukan selain dibuktikan itu salah, tidak dianggap sebagai bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang ada,” ujarnya.

Akan tetapi pihaknya juga menjelaskan bahwa dugaan adanya cawe-cawe yang dilakukan Presiden Jokowi, karena tidak adanya perundang-undangan yang mengatur kewenangan tersebut. Kemudian ia mencontohkan, dugaan cawe-cawe Presiden Jokowi pada pembagian Bansos, yang ditujukan untuk menunjang Pemilu 2024, menurutnya kewenangan tersebut memang tidak diatur dalam undang-undang.

“Tapi itu, saya ambil contoh ya, kaitanya dengan masalah bansos itu ya, bansos itu kemarin patut diduga, bahwa pemerintahan itu telah menggunakan kepentingan-kepentingannya untuk menjalankan pengaruhnya demikian. Tapi kalau kita lihat di undang-undang kan gaada, pembatasan bansos pada saat pemilu, seperti itu. Akhirnya MK juga menyatakan dalam beberapa keputusannya, ya tidak ada hubungannya. Karena kaitannya dengan bansos dianggarkan. Pemerintahan berhak menempatkan anggarannya dimana tempatnya, waktunya, seperti itu,” ujarnya.

Oleh karena itu, ia menegaskan bahwa hal tersebut terjadi karena kurangnya kontrol yang dilakukan oleh partai-partai dalam menyusun perundang-undangan terkait kewenangan-kewenangan Presiden.

“Harusnya kayak partai PDIP itu kan secara proses legilasi nasional itu kan mementingkan perubahan norma norma yang seperti ini. Jangan sampai kemudian penguasa itu lebih dominan kita batasi seperti itu. Tapi kalau sudah terjadi demikian lah mau apa dikata. Kalau hanya dugaan saja, tanpa dibuktikan, tanpa ada peraturan seperti itu ya percuma saya pikir,” tegasnya.

Kondisi demikian menjadikan akademisi layaknya Junaidi patut khawatir, ia menilai bahwa hukum kini tidak lagi menjadi panglima, namun digunakan sebagai alat penunjang kepentingan penguasa.

“Maka  saya berharap APH-APH itu, segera mungkin lah kemudian ditempatkan dalam proses pemilu. Itu kemudian jangan bikin pemilunya polemik ya. Dan ini harusnya jadi pelajaran, sejak dulu-dulu juga ada kekhawatiran saya seperti itu, sebagai akademisi,” ujarnya. (cr3-Mantranews).