GROBOGAN, Mantranews.id – Lembaga Bantuan Hukum (LBH) dan Advokasi Publik Pimpinan Daerah (PD) Muhammadiyah Grobogan mengecam keras atas tindakan Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) yang inkonstitusional. Hal itu diungkapkan oleh Direktur LBH Advokasi Publik PD Muhammadiyah Grobogan Sakta Abaway, Kamis(15/8).
Lebih lanjut, pernyataan sikap itu dikarenakan tindakan BPIP yang telah inkonstitusional terkait seragam Pasukan Pengibaran Bendera Pusaka (Paskibraka) saat pengukuhan dan gelaran upacara 17 Agustus 2024 di IKN, Kalimantan Timur.
“Bahwa ada sekitar 18 orang Muslimah dikabarkan dipaksa mencopot jilbab yang biasa mereka kenakan, sebagai komitmen menjadi anggota Paskibraka saat pengukuhan,”katanya.
Pengambilan sikap ini, sambung Sakta sekaligus penegasan bahwa menggenakan jilbab adalah kewajiban syar’i dan hak konstitusional bagi setiap muslimah termasuk muslimah anggota paskibraka.
Sakta mengatakan bahwa aturan yang digunakan alasan kepala BPIP Yudian Wahyudi terkait pencopotan jilbab paskibraka yang termuat dalam keputusan BPIP Nomor 35 tahun 2024, tentang standar pakaian, atribut, dan sikap tampang paskibraka itu, di klaim bagian dari upaya untuk menginternalisasi nilai-nilai Pancasila yang berbhineka tunggal Ika.
“Kepala BPIP juga berdalih, para anggota Paskibraka telah setuju dan menandatangi pernyataan diatas materai yang isinya akan menaati peraturan BPIP dimaksud,” tegasnya.
Berkenaan dengan hal itu, pihaknya menyatakan sikap yang berisi 6 poin. Diantaranya, pertama Mengenakan jilbab bagi setiap Muslimah (termasuk Muslimah anggota Paskibraka) yang telah baligh adalah kewajiban Syar’i, karena dihadapan ruang publik seluruh tubuh wanita muslimah adalah aurat, kecuali muka dan telapak tangan.
Kedua, sambung Sakta secara konstitusi, menggunakan jilbab bagi setiap muslimah warga negara Indonesia tanpa terkecuali adalah hak konstitusional setiap warga negara sebagaimana diatur dan dijamin dalam konstitusi Pasal 29 UUD 1945.
Ketiga, pemaksaan penanggalan jilbab bagi Muslimah anggota Paskibraka berdalih peraturan BPIP ini, adalah pelanggaran konstitusi serta memaksa untuk melanggar hukum agama. Menurutnya, keputusan BPIP Nomor 35 tahun 2024 justru menunjukan adanya sifat Islamophobia yang akut, karakter intoleransi yang sistematis, serta upaya mengebiri ajaran dan keyakinan umat islam secara terstruktur dan masif. “Sekaligus mengkonfirmasi BPIP mengidap sekulerisme radikal yang brutal terhadap keyakinan umat Islam,” sebutnya.
Poin ke empat, ungkap Sakta kebijakan pencopotan jilbab berdalih aturan yang diterbitkan BPIP mengingatkan publik pada statemen kepala BPIP Yudian Wahyudi, yang pernah menyatakan ‘Agama adalah musuh terbesar Pancasila’.
“Pemaksaan tafsir tunggal Pancasila ala penguasa yang diadopsi rezim penguasa, yang dulu digunakan pula untuk membungkam Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) dan Front Pembela Islam (FPI), mengkonfirmasi bahwa Pancasila hanyalah alat politik penguasa sebagai sarana untuk membungkam gerakan dakwah Islam dan menjauhkan umat Islam dari ajaran dan praktik ibadah agamanya,” jelasnya.
Lebih lanjut, poin ke lima, Sakta menyebutkan pencopotan jilbab paskibraka mempertegas adanya memberangus kemerdekaan beragama umat Islam sehingga menciptakan kegaduhan. “Selain itu, dijadikan sarana pengalihan isu oleh rezim berkuasa saat ini dari berbagai kejahatan dan kezalimannya,” katanya.
Terakhir, poin ke enam, pihaknya menuntut agar BPIP segera dibubarkan karena sejak didirikan lembaga ini tidak berfaedah. “Selain membebani anggaran, BPIP hanya digunakan sebagai alat politik rezim berkuasa saat ini untuk membungkam dakwah Islam dan memberangus keyakinan umat Islam berdalih menegakkan nilai-nilai Pancasila,” tegasnya. (Lingkar Network | Cak – Mantranews).